Pancawali Krama, dalam budaya Jawa disebut ruwatan. Namun ritual ini adalah paling besar atau tertinggi dari sekian ritual Hindhu yang termaktub dalam lontar Bamakertih, Kitab Weda. Demikian dikatakan Jro Mangku Tirta, penanggungjawab sesaji dan jalannya ritual di Candi Cetho.
DALAM perspektif Hindhu, Candi Cetho dianggap sebagai pusatnya jagat Nusantara. Merupakan penyangga keseimbangan jagat Nusantara. Karena itu, Candi Cetho dipilih sebagai tempat dilangsungkannya puncak ritual Pancawali Krama. Demikian diungkapkan Jro Mangku I Ketut Pasek, wakil ketua Pariman Sulinggih PDHI Surakarta.
Pariman Sulinggih adalah dewan yang berhak menentukan Bisama, yang dalam Islam disebut Fatwa. Sementara itu, sejumlah media cetak di Jawa Tengah dan DIY, merilis hajatan besar tersebut diadakan berdasar wisik gaib yang diterima oleh Jro Mangku Alit. Namun, Jro Mangku Tirta, penanggungjawab sesajian dalam ritual tersebut mengatakan, gagasan pertama datang dari pihak Kraton Solo dan Jogyakarta, setelah menerima wisik gaib tersebut.
Jro Mangku Tirta bahkan mengatakan, Sri Susuhunan PB XIII, dalam sebuah kunjungan di Pura Besakih Bali pernah berpesan, agar kita tidak harus terikat oleh agama, tetapi terikat oleh leluhur. Jro Mangku Tirta lalu menandaskan, leluhur Kraton Solo dan Jogyakarta ada di Candi Cetho.
Sunardi, Ketua PDHI Gumeng yang juga Ketua Panitia lokal hajatan besar tersebut mengatakan senada, ritual Pancawali Krama diprakarsai oleh Kraton Solo dan Jogyakarta. “Konsep sedulur papat limo pancer dengan pusatnya di Candi Cetho itu berasal dari Jawa,” katanya.
Lepas dari wisik gaib tersebut diterima oleh siapa, Pancawali Krama diselenggarakan sebagai ruwatan nagari, yang dilatarbelakangi oleh situasi alam yang rawan bencana dan kebobrokan moral, serta bertujuan mengembalikan keseimbangan alam. Semua itu juga harus dilakukan dengan perubahan nyata dari umat manusia. Karena ini pula, ketidakhadiran presiden RI yang sebelumnya direncanakan akan hadir, cukup disayangkan.
Rangkaian upacara Pancawali Krama dimulai sejak pertengahan Mei lalu, di sejumlah lokasi seperti Geria Lusuh Karangasem, Bali, Sungai Bengawan Solo, Segara atau Parangkusumo, Pura Banguntapan Solo dan berakhir di Candi Cetho. Jro Mangku Tirta menjelaskan, lokasi diselenggarakannya rangkaian ritual tersebut memiliki makna, laut dan bumi atau daratan adalah sumber kehidupan. Sebagai simbol penyatuan, dalam sesaji terdapat hewan Penyu, yang menggambarkan bersatunya lautan dan daratan. Dalam Hindhu, Penyu disebut sebagai Bedawangalo, yang relifnya banyak terdapat di Candi Cetho dan Candi Sukuh. Undang-undang Negara RI yang melindungi kelangsungan hidup Penyu, tak berlaku dalam ritual Pancawali Krama tersebut.
Secara rinci, Jro Mangku Tirta menjelaskan, dalam Hindhu danau atau sumber air merupakan hal terpenting dalam setiap ritual suci. Di Jawa Tengah, keberadaan danau diwakili oleh Bengawan Solo dan Parangkusumo di DIY. Rangkaian itu merupakan upakara melasti atau pembersihan dari pengaruh jahat Butakala. Labuhan itu disebut Labuh Guntuh Candi Labade, dipersembahkan kepada Shang Kala Sunie.
Di Candi Cetho, 16 Juli, merupakan upakara Buta Nyadnya atau Mecaru. Puncak ritual 17 Juli adalah Ngeteg Linggih atau Dewa Nyadnya, bertujuan menstanakan atau menempatkan Dewa-dewa leluhur, terutama Dewa Kemakmuran yang disimbolkan dengan Lingga dan Yoni. Seluruh rangkaian tersebut disertai dengan beragam sesaji, yang menurut Jro Mangku Tirta telah diatur dalam lontar Bamakertih, bagian dari Kitab Weda yang khusus menjelaskan makna sesaji-sesaji tersebut.
Sumber : harian pos metro balikpapan
|