Meski menuai kontroversi, pemerintah tetap memasukkan delik santet dalam Rancangan KUHP. Hukumannya berupa pilihan denda atau penjara. Meski akibat ilmu hitam tersebut dapat menimbulkan kematian.
Dalam pasal 296 Rancangan KUHP, disebutkan orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 300 juta apabila dia menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan dan memberitahukan bantuan jasa kepada orang lain.
"Karena perbuatannya itu dapat menimbulkan penyakit, kematian penderitaan mental atai fisik seseorang," demikian bunyi pasal 293 ayat 1 Rancangan KUHP seperti dikutip detikcom.
Rancangan yang terdiri dari 766 pasal dengan 38 BAB ini telah diserahkan pemerintah ke DPR kemarin (6/3). KUHP ini akan menggantikan KUHP warisan kolonial Belanda.
KUHP dibentuk pada 1830 oleh pemerintah Belanda dan dibawa ke Indonesia pada 1872. Pemerintah kolonial memberlakukan secara nasional pada 1918. Meski demikian, dalam pelaksanannya saat itu terdapat pembedaan pengadilan berdasarkan warna kulit.
Pendapat Hakim Agung Prof Gayus Lumbuun
Rancangan KUHP yang diberikan pemerintah ke DPR 'beraroma magis'. Sebab dalam salah satu pasalnya mengkriminalkan dukun santet. Jika pasal itu diketok, bagaimana membuktikan kejahatan di pengadilan?
"Sebagai orang yang beragama harus mempercayai hal gaib. Itu prinsipnya," kata hakim agung Prof Gayus Lumbuun saat berbincang dengan detikcom.
Namun hingga hari ini belum ada kesepakatan jika santet merupakan tindakan rasional. Padahal hukum pidana adalah hukum yang rasional. Sehingga jika pasal tersebut diketok maka dapat menimbulkan berbagai masalah di kemudian hari.
"Nanti pembuktiannya seperti apa di pengadilan? Apakah jika ditemukan ada paku di dalam perut lalu itu santet? Lalu bagaimana menemukan pelakunya? Yang akan dipidana adalah perbuatan yang melawan hukum. Kuncinya adalah perbuatan," beber Gayus.
Guru besar ilmu hukum Universitas Krisna Dwipayana ini malah mengkhawatirkan akan timbul kegoncangan sosial dengan pasal tersebut. Sebab orang bisa dipenjara karena tuduhan-tuduhan bisa menyantet atau tuduhan sebagai dukun santet.
"Bahaya lagi kalau dimasukkan delik formil, tidak perlu dibuktikan bahwa dia menyantet, orang bisa terkena pasal itu. Kalau masuk delik materil, pembuktiannya akan mengalami kesulitan," terang Gayus.
Atas pertimbangan itu, sedari awal munculnya pasal tersebut, mantan anggota DPR Komisi III tidak sepakat. Jika memang dukun santet hendak dipidanakan maka bisa menggunakan delik lain seperti penghasutan atau penipuan.
"Untuk KUHP dan KUHAP-nya sudah saatnya direvisi. DPR harus segera menjadikan UU," tandas bekas politikus PDIP ini.
"Bagaimana nantinya nasib UU lain jika KUHP dan KUHAP diketok?" tanya detikcom.
"Prinsipnya, UU yang baru menanggalkan UU yang lama. Jika dianggap bertentangan maka akan diuji," jawab Gayus.
Seperti diketahui, dalam pasal 296 Rancangan KUHP menyatakan seseorang yang menawarkan jasa santet dapat dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 300 juta.